Sabtu, 14 Januari 2012

SALUT Buat SatPol PP Solo: NGUWONGKE, PKL Juga Manusia

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Dinas Pengelolaan Pasar Kota Solo melakukan penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jalan Veteran, Jumat 13 Desember 2012. Sekitar 104 PKL dipindahkan ke Pasar Notoharjo dan Pasal Gading, Solo.

Tak ada pemandangan adu jotos antara petugas dengan para pedagang -seperti penggusuran-penggusuran di tempat lainnya. Para petugas juga tak membawa pentungan, pedagang yang digusur pun tak lari terbirit-birit untuk menyelamatkan diri dan barang dagangannya. Bahkan, tak ada acara adu mulut yang seolah sudah menjadi ritual wajib dalam berbagai penggusuran oleh Satpol PP di berbagai tempat.

Yang terlihat dalam penertiban PKL di Solo ini adalah keramahan petugas dan kerelaan dari para pedagang untuk meninggalkan tempat yang telah mereka pakai sejak 1994. Satpol PP yang selama ini identik dengan kekerasan tampak berbaur dengan para pedagang, membantu mengemas dan mengangkut barang milik pedagang. Nir-kekerasan.

Tak hanya ramah, petugas juga memperlakukan para pedagang dengan istimewa. Para PKL dikirab, diangkut dengan empat kendaraan bak terbuka milik Satpol PP. Selain itu, mereka diperlakukan layaknya pejabat, dikawal dengan mobil patroli lalu lintas dan kendaraan roda dua milik DLLAJ yang lengkap dengan sirine.

Salah satu PKL yang menjual pakaian bekas di Jalan Veteran Solo, Sri Handayani mengaku senang dengan perlakuan ini. Dia mengatakan senang dan tidak keberatan. "Sebelumnya kami diberi pemahaman tentang ketertiban oleh Pemkot, terus diminta pindah ke Pasar Notoharjo untuk PKL klithikan dan PKL pakaian bekas ke Pasar Gading," kata dia kepadaVIVAnews.com.

Tak hanya menerima penggusuran, Handayani mengaku senang dengan relokasi ini. Karena, pemerintah Kota Solo memberikan tempat baru untuk para pedagang. Bahkan, lapak baru di Pasar Gading diberikan secara cuma-cuma dan tidak dipungut biaya. Selain itu, kondisinya jauh lebih bagus. "Semoga ditempat baru nanti laris dagangannya," harapnya.

Sejarah kelam

Diakui atau tidak, selama ini Satpol PP sering diidentikkan dengan kekerasan. Ketegangan dan bentrokan yang melibatkan Satpol PP dengan warga bisa dibilang sudah tak terhitung jumlahnya. Tak jarang, korban berjatuhan, luka-luka hingga meninggal dunia.

Sejarah kelam bentrok Satpol PP dengan warga yang mungkin tak kan terlupakan adalah peristiwa penggusuran makam Mbah Priok di Jakarta Utara pada April 2010 yang lalu. Saat itu, Satpol PP terlibat bentrokan dengan ahli waris dan masyarakat setempat yang menolak penggusuran makam yang 'dikeramatkan' itu.

Berdasar hasil investigasi PMI, peristiwa itu memakan korban sebanyak 231 orang. Korban meninggal dunia tiga orang, luka berat termasuk di dalamnya cacat fungsi 26 orang, luka sedang sebanyak 35 orang, dan luka ringan sebanyak 167 orang.

Selang tiga bulan kemudian, atau Juli 2010, Satpol PP juga terlibat bentrokan dengan di Desa Manis Lor Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Kali ini, Satpol PP justru masuk dalam konflik yang berbau agama. Satpol PP berhadapan dengan jamaah Ahmadiyah.

Peristiwa itu berawal penyegelan Mesjid An-Nur milik jamaah Ahmadiyah. Kericuhan itu sudah yang kesekian kali terjadi. Bermula saat warga sekitar (non Ahmadiyah) menuntut agar jemaah Ahmadiyah tidak lagi menjalankan segala aktivitas keagamaan yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Jamaah Ahmadiyah yang merasa terancam sampai meminta perlindungan polisi.

Selain dua peristiwa-peristiwa itu, masih banyak lagi bentrokan-bentrokan yang menghadapkan Satpol PP dengan warga. Baik dengan skala kecil maupun besar. Namun, bentrokan berdarah itu tidak berlaku untuk Satpol PP di Kota Solo.

Trik

Kepala Satpol PP Kota Solo, Tri Puguh Priyadi mengatakan pasukannya tak pernah memandang remeh para pedagang kaki lima itu. Para pedagang itu selalu ditempatkan sebagai saudara, sahabat, dan mitra kerja, bukan sebagai musuh yang harus dilawan. "Intinya, penertiban petugas Satpol PP itu nguwongke (memanusiakan manusia), jadi tidak ada kekerasan," kata Puguh.

Pendekatan kepada para pedagang adalah kunci sukses yang sangat berperan. Menurut dia, Satpol PP dan pemerintah Solo selalu mencari tahu permasalahan para pedagang itu. Langkah persuasi selalu dikedepankan. "Pertama kita beri tahu mereka. Kita persuasi, kalau belum ada titik temu, kita ulur lagi," ujar Puguh. "Negosiasi lagi dengan cara yang menentramkan para pedagang hingga ketemu solusinya."

Puguh juga mengatakan, pasukannya telah menyingkirkan jauh-jauh pentungan dan tameng yang selama ini identik dengan Satpol PP. Tujuannya satu, menghindarkan mereka dari tindakan represif. Pentungan dan tameng mereka telah digudangkan oleh Sang Walikota, Joko Widodo. "Kita sengaja menghindari alat-alat yang merujuk ke arah represif," katanya.

Seperti halnya penertiban PKL di jalan Veteran itu. Pasukan Satpol PP membaur dengan para pedagang. Mereka membantu para pedagang memindahkan barang-barangnya ke lokasi baru yang telah disiapkan. "Kita dari pihak Satpol PP menawarkan kendaraan kepada pedagang untuk mengangkut barangnya. Untuk mengangkut barang milik pedagang di Veteran, kita kerahkan 4 truk, sampai bolak-balik 6 kali," ujar Puguh.

Sementara itu, Kepala Dinas Pengelolaan Pasar Kota Solo, Subagiyo mengatakan proses relokasi humanis ini memang tak mudah dilakukan. Dibutuhkan waktu lama untuk proses ini, yaitu sekitar 6 bulan. Langkah pertama adalah memberikan pemahaman tentang keberadaan PKL di jalur hijau tersebut yang melanggar aturan.

"Setelah diberikan pemahaman dan pengertian, kami beri solusi dengan memberikan lokasi tempat berjualan yang baru di Pasar Notoharjo dan Pasar Gading. Semua shelter PKL digratiskan," jelas Subagiyo.

Solusi konkrit

Sementara itu, Ketua Paguyuban PKL Gotong Royong Veteran, Sriyanto menyebutkan dari 104 PKL yang direlokasi itu terdiri dari 30 pedagang pakaian bekas dan 74 pedagang klithikan onderdil. "Kami siap direlokasi di tempat yang baru. Hanya saja kami meminta supaya fasilitas pelengkap seperti toilet yang rusak, jalan kurang bagus dan listrik segera diperbaiki," ujarnya.

Di tempat baru tersebut, diakui Sriyanto, untuk sementara waktu omzet penjualan akan turun, mengingat ditempat baru ini harus mulai dari nol lagi. "Kami meminta kepada pemerintah untuk promosikan tempat relokasi PKL ini supaya tidak terpuruk," papar dia.

Sebagai Kadis Pengelolaan Pasar, Subagiyo memahami keluhan para pedagang tersebut. Namun dia meminta para pedagang yang direlokasi tak perlu khawatir. Pemerintah, kata dia, telah mengerahkan berbagai upaya untuk menyosialisasikan tempat baru itu, bahkan promosi melalui media. Selain itu, pemerintah kota juga memasang spanduk di titik strategis supaya lokasi relokasi PKL yang baru diketahui oleh masyarakat umum.

"Itulah cara-cara untuk promosikan tempat PKL yang baru. Kita akan melaksanakan berbagai even di lokasi itu supaya masyarakat tahu keberadaan PKL itu," tutur dia.

Terkait keluhan fasilitas pelengkap dari pedagang, dia menjawab bahwa semua fasilitas telah diperbaiki. "Mulai hari ini fasilitas sudah beres. Listrik sudah hidup, WC sudah diperbaiki," tegasnya.

Senjata peluit

Konsep Satpol PP yang humanis itu memang diinginkan oleh Walikota Solo, Joko Widodo. Pria yang akrab disapa Jokowi itu membuat langkah berani dengan menggudangkan tameng dan pentungan yang selama ini menjadi senjata Satpol PP. Menurut dia, pasukan ini hanya perlu dipersenjatai dengan peluit.

Jokowi menginginkan setiap kali Satpol PP Solo beroperasi maupun melakukan relokasi terhadap hunian liar penduduk maupun pedagang kaki lima liar, selalu mengedepankan pendekatan komunitas, kelompok, dan personal. "Kami selalu intensif melakukan persuasi dengan warga sebelum melakukan penggusuran. Kami mencari langkah solusi terbaik. Kadang nanti hasilnya mereka dengan kesadaran sendiri akan pindah," kata Jokowi beberapa waktu lalu.

Hasilnya, berbagai penggusuran yang dilakukan oleh Satpol PP Kota Solo memang tak menggunakan kekerasan. Antara lain: penggusuran hunian liar di Balekambang, Tirtonadi, Kali Gajah Putih, Kalianyar, dan bantaran Bengawan Solo. Bahkan, ada juga penggusuran ribuan pedagang kaki lima di Banjarsari.

Saat menghadiri acara 'Deklarasi Nasional Menuju Indonesia Bangkit: Birokrasi Bersih dan Melayani' di Balai Sidang Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis, 8 Desember 2011 yang lalu, Jokowi mengaku prihatin dengan berita-berita kekerasan aparat saat melakukan penggusuran PKL di kota tertentu.

Dia pun memperlihatkan gambar traktor besar yang sedang meruntuhkan bangunan liar, serta penertiban PKL oleh aparat Satpol PP. "Ini jelas bukan di Solo. Di kota saya tidak ada yang seperti ini. Zaman seperti ini, kok, masih ada yang main gebuk-gebukan," ucapnya sambil tersenyum.

Dia mengatakan penggusuran PKL dengan menggunakan kekerasan fisik, bukanlah bentuk pelayanan pemerintah. "Tugas kita ini sebagai pemerintah adalah melindungi rakyat, melayani kepentingan umum, pimpinan-pimpinan sudah lupa ini. Ini kekeliruan yang harus sudah diubah," ujarnya.

Dia mengisahkan, dulu di Solo, kurang lebih sosok yang dipilih sebagai Kepala Satpol PP sama seperti di kota-kota besar lainnya. Tinggi besar, berwajah seram, berkumis lebat. Namun, Jokowi berani mengubah ini semua demi pelayanan yang lebih baik bagi rakyatnya.

"Sekarang lihat, Satpol PP saya wanita. Pakai kebaya. Cantik 'kan?" kata Jokowi sambil menunjukkan foto pasukan Satpol PP Kota Solo pilihannya.

Fajar Sodiq | Solo VIVAnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...