Kamis, 19 April 2012

Sinta Tewas Saat Tatonya Dihapus, Pelaku: Baru Kali Ini Fatal

Purwokerto - Eko Restianto (49), tersangka tewasnya Sinta Dewi (28) saat menghapus tato, mengaku sudah beroperasi sejak 10 tahun lalu. Baru kali hasilnya fatal, kliennya meninggal.

Eko belajar dan membuka praktek hapus tato sejak 10 tahun yang lalu. Awalnya, dia menggunakan cara manual, lalu di tahun 2009 ia mulai memakai laser.

"Dari ratusan pasien, baru kali ini fatal hingga meninggal," kata Eko kepada wartawan di Mapolres Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (19/4/2012).

Eko menjelaskan, Sinta datang ke tempat prakteknya ditemani oleh tiga orang, yakni Supriyanto (51), warga Banyumas, Samyono (36), warga Gombong, dan Mujiati (42), warga Purbalingga. Ia sempat ragu saat menghapus tato tapi akhirnya terpaksa melakukannya.

Sinta memiliki tiga tato, jelas Eko, sehingga dibutuhkan banyak obat bius. "Saya pakai jenis Lepokin agar proses hapus tidak terasa sakit," ungkapnya.

Eko tidak tahu penyebab kematian Sinta. Dosis suntikan obat bius didapat dari dokter. "Katanya, nggak apa-apa, asal dosisnya nggak terlalu banyak. Tapi kalau pasien bilang pusing, berarti harus stop," lanjutnya.

Sinta tewas setelah kejang-kejang di tempat praktik Eko. Diduga, gejala itu dialami akibat suntikan obat bius. Polisi masih menyelidiki kasus ini.



Prof. Sofjan: Mereka Beban Negara, Anti-Pancasila

Di Denmark, menteri pulang dari lawatan luar negeri dengan kelas ekonomi, lalu naik taksi dari bandara ke kantor. Hanya di Indonesia saja yang wakil rakyatnya jor-joran. Mereka ini beban negara, anti-Pancasila.

Hal itu disampaikan Prof. Dr. Sofjan Siregar, MA, pengajar pada Islamic University of Europa, Rotterdam, kepada detikcom, Kamis (19/4/2012) waktu setempat.

"Kita harus mencontoh cara mengelola uang rakyat di Eropa. Ketika sang menteri kirim faktur taksi ke kementeriannya untuk diganti, dia langsung dikritik mengapa naik taksi, padahal ada bus umum. Bola-balik DPR ke luar negeri, tapi yang begini DPR pura-pura tidak melihat," tutur Sofjan.

Menurut Sofjan, pejabat seperti di Denmark itu hakekatnya pejabat Pancasilais, di negara yang justru tidak mengenal Pancasila. Elite politik Indonesia harus belajar jadi manusia Pancasilais seperti di Eropa.

"Mengapa nilai-nilai Pancasila secara de facto hidup di Eropa? Sementara di Indonesia de jure saja, de facto-nya bagaimana? Itu harus dijawab oleh elite dan pejabat Indonesia," imbuh Sofjan.

Lanjut Sofjan, jika semua pola hidup konsumtif dan hedonisme para penyelenggara negara ditiadakan, maka pilkada dan pemilu legislatif akan seperti di Eropa, tidak rebutan.

"Akhirnya orang tidak berlomba menghalalkan segala cara, seperti manuver gerombolan di Senayan. Mencari caleg akan susah, seperti susahnya mencari calon polisi dan tentara di Eropa, karena yang ingin masuk hanyalah orang yang benar-benar bermotivasi mengabdi, bukan motif lain," tegas Sofjan.

Di Indonesia, menurut Sofjan, rakyat cukup Pancasilais, namun sayangnya kelakuan elitenya sangat bertentangan dengan Pancasila. Untuk anggota DPR semua ditunjang, mulai listrik, macam-macam honor, uang aspirasi, uang komunikasi, pengawasan, uang sidang, dll. 1001 macam fasilitas seperti ini hanya ada di lembaga parlemen Indonesia.

"Di dunia ini hanya di Indonesia saja yang fasilitas untuk elitenya sangat extravagant (jor-joran, red). Bukankah mereka sudah ada gaji, kenapa harus ditunjang lagi berlipat-lipat dengan berbagai nama?" gugat Sofjan.

Hampir setiap hari rakyat dikagetkan dengan berita-berita pemborosan uang negara oleh para elite parpol di DPR dan pejabat, dengan berbagai alasan mulai dari kenaikan gaji, fasilitas dan sampai tunjangan berlapis-lapis.

Selain tunjangan juga ada rumah dinas dan segala bentuk fasilitas dinas, yang sama sekali rakyat tidak tahu. Jika rakyat tahu sebelumnya dan disiarkan secara transparan tentu dan pasti tidak ada yang setuju dengan fasilitas belebihan seperti itu.

Dalam pandangan Sofjan, rumah-rumah dinas pejabat tinggi negara, DPR, DPRD di semua provinsi dan kabupaten, vila dan wisma, kalau dilikuidasi akan menghemat anggaran perawatan dan mendatangkan fresh money puluhan triliuan rupiah.

Sistem gaji juga harus disederhanakan. Jangan gaji resmi Rp 5 juta, tunjangan dan sabetan dalam bentuk uang macam-macam itu bisa sampai puluhan atau ratusan juta. Harus mudah dan simpel, umpamanya maksimal Rp 25 juta, sudah termasuk segala tunjangan.

"Jika merasa kurang cukup silakan mundur. Berikan kepada orang yang mau dan merasa gaji itu cukup sebagai wakil rakyat," tandas Sofjan.

Anggota DPR tidak perlu menginap di hotel ketika akan dilantik. Jika ingin tidak terlambat, mereka harus cepat bangun pagi, seperti rakyat yang diwakilinya. Anggota DPR dan pejabat harus belajar jadi makhluk manusia. Jika mau rapat cukup di kementerian atau di kantor, jangan di hotel bintang lima pakai uang rakyat.

"Mereka itu beban negara, jika terus menuruti nafsu konsumtif atas biaya rakyat dan menghisap rakyat. Itu tidak berprikemanusiaan. Mereka itu pada hakekatnya anti-Pancasila dan tidak perlu dipertahankan di Indonesia," pungkas Sofjan.

Detik

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...